Tindak Pidana Dalam Pemalsuan Ijazah Kajian Pasal 67-71 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Perspektif Hukum Pidana Islam
Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita
sekarang ini adalah selalu igin cepat menyelesaikan sesuatu hal tanpa
memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, padahal
perbuatannya itu sudah jelas-jelas dilarang. Manusia sering dihadapkan kepada
suatu kebutuhan pemuas diri dan bahkan keinginan untuk mempertahankan status
diri hal itu banyak dilakukan tanpa berfikir secara matang yang dapat
merugikan lingkungan dan diri sendiri.
Salah satu fenomena yang terjadi itu adalah masalah
pendidikan. Masalah pendidikan merupakan masalah yang kompleks karena yang
terlibat didalamnya tidak hanya guru dengan murid namun lembaga yang menaungi
pendidikan tersebut dan pemerintah juga terlibat di dalamnya.
Dilihat dari segi pengertian Pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan fungsi Pendidikan nasional itu sendiri yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.[1]
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) disatu sisi membawa hasil positif bagi perkembangan, namun pada sisi
lain disalah gunakan oleh sebagian orang yang tidak beriktikat baik. Mereka
melakukan cara-cara yang tidak terpuji yang sepintas lalu tampaknya tidak
terjangkau oleh peraturan perUndang-Undangan.[2]
Sebagaimana diketahui kejahatan tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat. Kejahatan bukanlah
sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari
langit, semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin
mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan, dengan kata
lain kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu dari perilaku
menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat yang sepi dari
kejahatan.[3]
Setiap orang yang melakukan kejahatan akan mendapatkan
hukuman yang setimpal dengan kejahatan tersebut. Hukum Islam memiliki keluasan
hukum serta saksi yang tidak didapati dalam hukum-hukum buatan manusia.[4]
Adapun bentuk-bentuk tindak pidana dalam pasal 67-71
Undang-Undang No 20 tahun 2003 adalah:
Pasal 67 ; ayat (1) Perseorangan, organisasi, atau
penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
Ayat (2) Penyelenggara perguruan
tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih
beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (3) Penyelenggara pendidikan
yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (4) Penyelenggara pendidikan
jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68 Ayat (1) Setiap orang yang
membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (2) Setiap orang yang
menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau
vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Ayat (3) Setiap orang yang
menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang
diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ayat (4) Setiap orang yang
memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan
Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 69 ayat (1) Setiap orang yang
menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau
vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Ayat (2) Setiap orang yang dengan
sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70 ; Lulusan yang karya ilmiah
yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71 ; Penyelenggara satuan
pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Secara garis besar bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam
pendidikan diantaranya :
Ijazah
Palsu, sertifikat kompetensi, gelar akademik, dan vokasi
Penyelenggara pendidikan yang dinyatakan di tutup
berdasarkan Undang-Undang ternyata masih beroperasi. Setiap orang yang
menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang
diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Penyelenggara pendidikan yang
memberikan gelar guru besar yang tidak sesui dengan Undang-Undang.
Penyelenggara pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tidak sesuai dengan
yang disyaratkan Undang-Undang.
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk
mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan. Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Di dalam KUHP
pemalsuan ijazah ini masuk kedalam pemalsuan surat yaitunya pasal 263 KUHP yang
berbunyi: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan
untuk memakai atau menyuruh orang lain untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak sipalsu, diancam jika
memakai tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara paling lama enam tahun[6].
Pemalsuan ijazah disamping penipuan terhadap diri dan
lembaga yang dipergunakannya dalam jangka panjang berarti menghancurkan semagat
berjuang yang fair yang sangat di butuhkan oleh bangsa yang
sedang mengejar ketertinggalannya seperti bangsa Indonesia. Oleh karena itu
ijazah palsu adalah musuh kebenaran, ijazah palsu adalah jati diri pengguna
ijazah tersebut, sekaligus lembaga yang mengeluarkannya. Ijazah palsu adalah
lambang dari ketidak berdayaan untuk bersaing secara fair. Jadi
ijazah palsu adalah musuh masyarakat yang beradab.[7]
Jika
sebuah masyarakat diwarnai ijazah palsu, masyarakat tersebut tergolong kepada
masyarakat yang tidak berfikir maju yang akan tetap berada dalam ketertinggalannya. [8]
Ijazah memiliki kesakralan akademik dimana orang yang telah
layaklah yang berhak dan diperkenankan untuk menerima dan dan menggunakannya
sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
pendidikan pasal: 61 ayat 2 yang berbunyi “Ijazah diberikan kepada peserta
didik sebagai pengakuan terhadap
prestasi belajar dan/atau penyelesaian
suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi”.[9]
Pada masa Umar bin Khatab pernah terjadi kasus tentang Mu’an
bin Zaidah yang memalsukan stempel Baitul Mal, lalu penjaga baitul mal datang
kepadanya untuk mengambil stempel palsu tadi dan mengambil hartanya, kasus ini
di dengar oleh Umar bin Khatab maka Umar memukulnya seratus kali dan
memenjarakannya, lalu dimarahi dan di pukuli seratus kali lagi, dimarahi lagi
dan selanjutnya dipukul seratus kali dan kemudian di asingkannya.[10]
Dari contoh diatas ternyata penipuan dengan modus pemalsuan
ini sudah terjadi pada zaman Nabi SAW dan sahabat. Seperti hadis Nabi SAW di
bawah ini yang melarang adanya unsur penipuan dalan hal jual-beli.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال ما هذا يا صاحب
الطعام ؟ قال أصابته السماء يا رسول الله قال أفلا جعلته فوق الطعام كي يراه الناس
؟ من غش فليس مني (رواه مسلم)
Artinya
: “Dari abu hurairah ra, berkata : “pada suatu ketika Rasulullah melewati
tumpukan makanan {dipasar}”, lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan
itu setelah diangkat kembali, ternyata jari-jari beliau basah. Lalu beliau
bertanya “kenapa begini hai penjual makanan?”,”jawabannya” kena hujan ya
rasulullah “sabda beliau, mengapa tidak ditaruh di atas (yang basah) supaya
dilihat orang ; siapa yang menipu tidak termasuk golonganku.”
{H.R. Muslim}. [11]
Dari hadis diatas jelaslah bahwa penipuan itu diharamkan
karena penipuan merupakan suatu kebohongan yang dapat merugikan orang lain maka
Islam melarang berbohong dan menganggapnya sebagai perbuatan dosa besar.
Selain itu ada hadist yang menerangkan tentang berbuat
dusta.
حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا
أبو معاوية ووكيع قالا حدثنا الأعمش ح وحدثنا أبو كريب حدثنا أبو معاوية حدثنا
الأعمش عن شقيق عن عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل
يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى
الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند
الله كذابا (رواه مسلم)
Artinya : “Telah menceritakan Muhammad
bin Abdillah bin Numair telah menceritakan abu Mu’awiah dan Waqi’ keduanya
berkata A’masy dan Abu Kuraib menceritakan kepada kami abu Muawiyah
menceritakan kepada kami, A’masy menceritakan Dari Abdillah ra. Berkata
rasulullah bersabda : “hendaklah kamu berlaku jujur membimbing kepada
kebajikan, dan kebajikan membawa kesurga. Seseorang yang senantiasa berlaku
jujur dan berusaha mempertahankan atau mencari kejujuran, maka dia dicatat
Allah sebagai “shadiq” dan hindarilah olehmu dusta karena sesungguhnya dusta
itu membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang
yang senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaan maka dia dicatat oleh
Allah sebagai “kadzab” (HR. Muslim)[12]
Di dalam Al-Qur’an juga diterangkan mengenai perbuatan dusta
yaitunya surat AnNisa’ Ayat 145 :
Artinya:
“Sesunguhnya orang-orang munafik itu (diletakkan) pada tingkatan yang paling
bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong
bagi mereka”.[13]
Ditinjau dari ruh syari’at menipu adalah membohongi, berlaku
dusta adalah merupakan cirri munafik, munafik seperti dinyatakan dalam hadist
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
عن أبي هريرةأن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( آية
المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان)
Artinya : “Abi Hurairah mengatakan bahwa Nabi SAW.
Bersabda, “tanda-tanda orang itu ada tiga : yaitu apabila dia berbicara dia
berdusta, apabiladia berjanji dia inkar, apabila dia dipercaya dia
khianat. (HR. Bukhari)[14]
Di dalam hukum Pidana Islam tidak diatur secara tegas
mengenai tidak pidana dalam pendidikan ini, hanya saja berkenaan dengan
penipuan.Dari latar belakang masalah di atas penulis sangat tertarik untuk
menuliskannya dalam bentuk skripsi dengan judul TINDAK PIDANA DALAM PEMALSUAN IJAZAH
KAJIAN PASAL 67-71 UNDANG-UNDANG NO 20 TAHUN 2003 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
Rumusan dan Batasan Masalah
Rumusan Masalah
Berdasarkan judul yang penulis bahas maka yang menjadi
rumusan masalahnya adalah
1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak
pidana dalam pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003?
2. Bagaimana sanksi terhadap pelaku tindak pidana mengenai
pendidikan dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 menurut hukum pidana
Islam?
Batasan Masalah.
Dari masalah yang telah diuraikan di atas, maka untuk lebih
terarahnya penelitian ini maka penulis membatasi Pasal 67-71 dalam
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 ditinjau dari Hukum Pidana Islam.
Penjelasan Judul
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian
ini, penulis akan menjelaskan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul
penelitian ini.
Tindak Pidana : Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
karena pelanggaran terhadap Undang-Undang.[15]
Pendidikan : Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasanabelajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[16]
Undang-Undang : Ketentuan-ketentuan
dan peraturan-peraturan Negara yang di buat oleh pemerintah.[17]
Tindak Pidana Islam : Segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal
yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat
dibebani kewajiban)[18]
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian.
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
penulis uraikan, maka penulisan ini bertujuan untuk Mengetahui bagaimana
tinjauan hukum Islam terhadap Tindak Pidana dalam Pendidikan pada Pasal 67-71
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
Mengetahui sanksi tindak pidana dalam Pendidikan menurut
hukum pidana Islam.
Kegunaan Penelitian.
Secara teoritis untuk menambah wawasan dan pengetahuan
penulis dalam bidang hukum pidana dan khususnya hukum pidana Islam.
Secara sisi praktisnya berguna untuk memberikan manfaat bagi
setiap orang yang ingin mengetahui tentang sistem pendidikan dan sanksi tindak
pidana dalam pendidikan dilihat dari hukum pidana Islam.
Metode Penelitian
Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian
kepustakaan(library research) artinya penelitian ini dilakukan
dengan membaca karya-karya terkait dengan persoalan yang akan dikaji. Kemudian
mencatat bagian yang memuat kajian tentang penelitian.[19]
Motode Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian menggunakan pendekatan deskriptif analitis
artinya penelitian ini dilakukan dengan mengambarkan (mendiskripsikan) sebuah
fenomena yang terjadi[20] dan
menganalisanya berdasarkan data yang diperoleh oleh penulis maka dalam
penelitian ini penulis akan mengambarkan dua system hukum yang berbeda (hukum
positif dan hukum pidana Islam) kemudian setelah dideskripsikan dan dianalisa
maka penulis akan membandingkan dan mengambil sebuah kesimpualan.
Sumber Data.
Di mana dalam penelitian pada umumnya untuk menentukan jenis
dari pada suatu penelitian itu dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dinamakan data Primer (dasar) sedangkan yang diperoleh
dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.
Di
dalam penelitian hukum data sekunder mencakup.[21]
Bahan primer.
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang merupakan norma atau
kaidah dasar, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sedangkan dalam hukum
Islam normanya adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Bahan sekunder.
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum Primer,
seperti rancangan Undang-Undang, hasil-hasil karya ilmiyah, buku-buku yang
berkenaan dengan penelitian penulis.
Bahan tersier.
Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, bahan tersier dalam penelitian ini
dapat berupa kamus hukum, ensiklopedi hukum.
Teknik Analisis Data.
Dalam mengolah data yang telah penulis peroleh, maka penulis
akan menganalisanya dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis)
yaitu suatu teknik analisis dalam kajian kepustakaan dengan cara menganalisa
terhadap berbagai sumber informasi termasuk bahan cetak (buku, artikel, koran,
majalah, dan lain-lain) dan bahan non cetak seperti gambar.[22]
Adapun
dalam content analysis ini penulis melakukan dalam lima
tahapan:
Menentukan tujuan analisis.
Dalam hal ini penulis mengidentifikasi tujuan analisisnya
dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu permasalahan yang ada.
Mengumpul data.
Penulis membaca, mengkaji, dan mencatat data-data yang
diambil dari berbagai sumber yang ada.
Mereduksi data.
Penulis mulai melakukan “sortir” terhadap data yang
telah penulis kumpulkan mana yang digunakan (include) dan mana yang
tidak di gunakan (exclude).
Menganalisis dan menafsirkan data.
Pada tahap ini penulis akan menganalisa data yang ada dan
selanjutnya mengambil kesimpulan dari analisa tersebut.
Kemudian, karena penulis mengggunakan penelitian yang
bersifat komperatif (membandingkan dua sistem hukum) maka penulis
membandingkannya setelah itu penulis mengambil kesimpulan akhir pada penelitian
ini.
Sistematika Penulisan
Untuk terarahnya penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan yang memberikan gambaran pembahasan sebagai berikut :
Bab
I berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
dan batasan masalah, penjelasan judul, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab
II berisi tentang gambaran umum tindak pidana pendidikan yang
terdiri dari: Pengertian Tindak Pidana Pendidikan, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana
Pendidikan, Faktor-Faktor Terjadinya Tindak Pidana Pendidikan, Ketentuan Hukum
Positif Tentang Tindak Pidana Pendidikan.
Bab
III berisi tentang tindak pidana pendidikan menurut hukum pidana Islam yang
terdiri dari: Bentuk-Bentuk Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam, Tindak
Pidana Pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Menurut Tinjauan Hukum
Pidana Islam, Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pendidikan dalam Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 Menurut Tinjauan Hukum Pidana Islam.
Bab
IV berisi kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mahrus, Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008)
Ali,
Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Abû
Zakariya Yahya ibn Syaraf, Al-Nawâwiy, Shahîh Muslim bi
Syarh al-Nawâwiy, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1983),
Barda
Nawawi, Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2000)
Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999)
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001)
Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi
baru, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007)
Rawas
Qal’ahji, Muhammad, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta:
Manajemen PT Raja Grafindo Persada, 1999)
Mestika
Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007)
Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhariy, ( Beirut : Dar
al-Fikr 1981)
Muslim
bin Al-Haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy Al-Naisaburiy Al-Muslim, Shahih Al
Muslim Bairut : Dar al-Fikr,)
Irawan,
Prasetyo, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: DIA
FISIP UI, 2006)
Redaksi
Sinar Grafika, KUHP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Syahrin
Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005)
Santoso,
Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: As-syamil, 2000)
Soekanto,
Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Prees, 1986)
Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2003)
Undang-Undang
SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008)
[3] Barda
Nawawi, Arif, Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2000), h. 11
[5] Undang-Undang
SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2008) h. 42-45
[7] Syahrin
Harahap, Penegakan Moral Akademik di Dalam
dan di Luar Kampus,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) h. 80
[10] Muhammad
Rawas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khatab, (Jakarta: Manajemen PT Raja
Grafindo Persada ,1999), h. 265
[11] Al-Nawâwiy,
Abû Zakariya Yahya ibn Syaraf. Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Juz I, h 99
[12] Muslim
bin Al-Haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy Al-Naisaburiy (Al Muslim), Shahih Al Muslim Bairut : Dar al-Fikr, t.th, Juz 8, h.29
[14] Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim, Shahih
Al-Bukhariy, ( Beirut : Dar al-Fikr 1981) Juz 20,
h. 248
[15] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001) h.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAjib mantaf
ReplyDeletecatatan rivay